Selasa, 17 Januari 2012

Senin, 16 Januari 2012

PORPROV XI DIY 2011




Pesta duluu... sebelum peraaaang,,,, hehehe...
lumayaan gaaaan... selain makanannya mantaaaf.... ternyata ada yg ngasih motivasi juga disana....
jadi tambah READY TO FIGHT gaaaaan... ^^


Final ni gaan,,, Klas H putra.... (masak putri,,,,) wkwkwwkk
yaaaaah bisa dilihat tuuuh,,,, ambil pelajarannya ajha gaan... ^_^
Selamat menikmati....


Yang di atas tuuuh BABAK KEDUA....




Finaaaal penghabisan terahir gaaan.... hhhmmm....
emang gua masih harus banyaak blajar lagi gaan...

Makasih deeh bagi yang udah ngliat video gue...
moga2 manfaat bagi kita semuaa... hehe
(jgn lupa dong di-Like videonya... oke gaaaaaan)

Senin, 09 Januari 2012

Sosiologi

Etika Protestan dan Kapitalisme


Pendahuluan

Eropa pada Abad Pertengahan memperlihatkan situasi yang sangat menarik. Pandangan keagamaan umat Kristen, sebagaimana diketahi memberikan makna moral kepada umat dengan beberapa persyaratan. Kehidupan di dunia ini dikuduskan hanya jika di pandang dari sudut dunia lain dan tujuan-tujuan non empirik. Pencapaian keselamatan adalah menjadi tujuan yang paling pokok umat kristen. Oleh karena itu masalah moral yang berhubungan dengan aktivitas duniawi yang mendalam di pandang sebagai sesuatu yang pokok, terserah bagaimana seseorang terlibat asaltidak terjatuh ke dalam dosa; demikian juga tidak menghilangkan kesempatan untuk memperoleh penyelamatan dan masuk surga.
Dalam dilema ini tujuan-tujuan sosial untuk mendapat harta kekayaan dan aktivitas  itu sebagai syarat datangnya anugerah Tuhan, yang berarti juga pertanda akan datangnya penyelamatan kepada diri seseorang. Kekayaan disini harus dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dipergunakan dan bukan untuk ditimbun atau ditumpuk dengan rakus. Oleh karena itu pendapatan yang diperoleh dengan cara membabi buta dan tidak jujur dikutuk secara keagamaan. Begitu pula cara pemakaiannya yang bersifat irrasional mesti dijauhi.



Pembahasan
Etika Protestanisme sebagai protes terhadap katolisisme
Reformasi bemula dari seorang tokoh bernama Martin Luther (1483-1546). Luther sebagai seorang rahib sekaligus seorang doktor teologi yang memiliki kecerdasan berpikir tentu tidak seperti orang kebanyakan, yang menerima begitu saja semua apa yang dikatakan Paus di Roma. Oleh karena itu, maka ketika Paus Leo X menyarankan kepada Uskup Besar Albrecht dan Mainz untuk memperdagangkan “surat penghapusan dosa” secara besar-besaran di Jerman, dengan berani ia menentangnya. Perbuatnnya telah mendorong kaisar Karel V mengadakan suatu “rapat kerajaan” dan mengeluarkan “Edik Worms”, dimana Luther dengan para pengikutnya dikucilkan dalam masyarakat dengan “kutuk kerajaan”. Semua karangan Luther harus dibakar. Ia sendiri boleh ditangkap dan dibunuh oleh siapa saja yang menemuinya. Keadaan ini tidak melemahkan pengikut Luther, bahkan sebaliknya. Karena pertikaian yang berkepanjangan, maka tahun 1529 diadakan pula rapat kerajaan di Jerman. Akan tetapi karena kebanyakan yang hadir adalah para pengikut Roma Katolik, maka rapat itu memutuskan untuk melarang adanya reformasi di seluruh wilayah kekaisaran. Hal ini tidak bisa diterima oleh para pengikut Luther, mereka mengemukakan ‘Protes’ dengan kerasnya. Sebab itu timbullah istilah “orang Protestan” dan selanjutnya agama Protestan.[1]
Selama berjalannya waktu, terdapat beberapa perbedaan yang menonjol antara pengikut Katolik dan Protestan. Orang katolik memperlihatkan kecenderungannya pada bidang garap atau pekerjaan tetap, tanpa ada keinginan keras untuk maju. Sebaliknya orang Protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk terus meningkat dan berkembang. Kenyataanya seperti ini jelas memperlihatkan terdapatnya perbedaan dari kedua agama tersebut. Keduanya telah memberikan budaya mental dan spritual yang berbeda.
Berdasarkan suatu analisis yang dangkal dan kesan mutakhir yang bisa didapatkan, kemungkinan seseorang tertarik untuk mengungkapkan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa ajaran katolik lebih menitikberatkan pada watak asketiknya yang ideal, yang mendidik dan mengarahkan anggota-anggotanya untuk tidak menghiraukan perkara-perkara yang berhubungan dengan harta duniawi.[2]
Meskipun kedua agama ini memiliki kecenderungan yang sama, tetapi orang Protestan telah memberikan kritik kepada orang Katolik berdasarkan cita hidup yang bercorak asketik ini. Sebalikya orang Katolik telah melempar tuduhan kepada orang Protestan bahwa materialisme yang merupakan hasil dari sekularisasi adalah merupakan cita hidup mereka.
Pernyataan di atas mungkin saja merupakan pernyataan yang benar sekalipun tidak lengkap, yang telah menandai motif-motif bagian terbesar orang Protestan di Jerman saat itu. Sebab sesuatu yang sama sekali lain telah terjadi, yaitu kalangan pengikut puritan Inggris, Belanda, dan Amerika. Mereka ditandai oleh kehidupan yang sangat menentang pada kemewahan dan kesenangan. Inilah yang ditekankan oleh gereja Calvinis dimana pun, terutama setelah melewati perjuangan agama. Mereka tetap bertahan dalam keagamaannya yang kokoh, mengikuti karakter dan watak agamanya yang murni.
Berbeda dengan orang Katolik di Prancis, pada umumnya tertarik dengan kesenangan dan kemewahan – pada tingkatan yang rendah – akan tetapi pada tahapan yang lebih jauh, banyak diantara mereka yang tidak peduli lagi dengan agama. Begitu pula dengan pengikut Protestan di Jerman, mereka yang terlibat dalam kehidupan ekonomi duniawi akhirnya bersikap acuh tak acuh terhadap agama.[3]



Etika Protestan  dan Proses Sekularisasi
Agama Protestan merupakan refleksi ideologis dari perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai sesuatu penglihatan yang wajar, karya weber bermula dari keganjilan, penyimpangan yang jelas terlihat dan yang identifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinilitas sebenarnya dari The Protestant Ethnic. Biasanya demikianlah yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh tak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama, karena kegiatan mereka tertuju kepada ‘materil’. Akan tetapi agama Protestan, bukannya mengendurkan pengawasan gereja atas kegiatan-kegiatan sehari-hari, malahan menuntut dari para penganut agama Protestan disiplin  yang lebih keras daripada penganut agama Katolik. Dan dengan demikian memasukan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan para penganutnya.[4]
Namun seiring berjalannya waktu hingga dewasa ini perkembangan kapitalisme sangat pesat dan agama pun semakin merosot dengan segala kepercayaannya. Bagi Weber ‘kekecewaan’ yang progresif di dunia, merupakan suatu proses, yang dengan sendirinya dirangsang oleh rasionalisasi yang pada gilirannya didorong oleh ramalan-ramalan agama. Penghapusan tata cara agama dilengkapi dengan majunya Calvinisme, yang pada gilirannya menjadi semakin tidak  relevan dengan kedewasaan produksi industri kapitalis.[5]
Marx menerima arti penting historis mengenai pertalian antara etika Protestan dan semangat kapitalis. Menurut Marx rasionalitas tampak dalam dominasi pasaran diantara hubungan manusia, di dalam usaha mengejar keuntungan keuangan sebagai suatu tujuan tersendiri. Yang itu menjadi perlambangan dari keterasingan diri di bawah kapitalisme Modern, oleh karena uang itu menurunkan semua nilai manusia menjadi nilai kautitatif dari pertukaran. Dengan demikian kapitalisme itu mempunyai suatu sifat menguniversalisasikan, yang membongkar keistimewaan-keistimewaaan dari budaya-budaya tradisional, dan yang melahirkan ‘moral uang’ sendiri. Kapitalisme menghancurkan pemuasan-hati-diri yang terkurung dalam batas-batas yang sempit dan yang disadari oleh suatu cara hidup yang tradisional serta reproduksi.
Kapitalisme berlaku seperti seorang pertapa dalam makna bahwa tindakan-tindakan para kapitalis didasarkan di atas penolakan diri dan di atas pengulangan penanaman modal dari keuntungan-keuntungan. Di kemukakan oleh Marx bahwa hal ini tampak dalam teori tentang ekonomi politik : ‘ oleh karenanya, ekonomi politik, sains mengenai kekayaan, pada saat yang sama merupakan sains mengenai penolakan diri, tentang hidup serba kurang dan tentang menabung.... ideal sebenarnya, ialah seorang yang kikir yang hidup seperti orang pertapa namun berfungsi sebagai tukang riba, dan menjadi seorang budak yang hidup seperti orang pertapa, namun produktif ’. Mengejar kekayaan demi kekayaan merupakan suatu fenomena yang hanya didapatkan di dalam kapitalisme modern.[6]



Penutup
Kesimpulan
Dunia Protestan merupakan aliran dalam agama Kristen yang dihasilkan melalui sebuah reformasi besar oleh para filosof, seperti Calvin dan Luther. Dikarenakan orang-orang Katolik cenderung terkungkung oleh kebijakan Paus yang otoriter dan dunia Katolik yang jauh lebih tertutup dari pada dunia Protestan. Hal tersebut jauh bersifat luar dunia (other-wordly) dari pada agama Protestan yang bersifat (inner-wordly).
Dari uraian yang panjang mengenai agama Protestan, secara keseluruhan kami berusaha untuk menangkap refleksi ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama dimana kemudian dipertemukan dengan fenomena yang mengitari pertumbuhan agama tersebut. Dari fenomena ini ternyata ditemukan kesejalanan. Gejala pertumbuhan agama protestan mempunyai kaitan yang sangat dekat dengan prilaku penganutnya di bidang ekonomi.
Fenomena ‘Kapitalisme Modern’ yang semakin berkembang mulai meninggalkan sedikit-demi sedikit ajaran etik agama sehingga membuat para penganutnya menjadi seakan mendewakan harta dunia dan hanya mengorientasikan hidupnya hanya untuk matrial dunia beserta kekayaan-kekayaanya. Sehingga melalaikan para pengikutnya akan prinsip moral agama dan semakin menjauh dari tuntunan agama sehingga mencapai puncaknya menjadi sekular yang membedakan antara urusan agama dan dunia.

Daftar Pustaka
Sudrajat, Ajat. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Indonesia. Oktober 1994.  Bumi Aksara. Jakarta.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI-Press. Jakarta. 1986.


[1] Ajat Sudrajat, Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Indonesia, Oktober 1994,  Bumi Aksara, Jakarta. Hlm 15
[2] Ibid, hlm 21
[3] Ibid, hlm 23
[4] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm 154
[5] Ibid, hlm 263
[6] Ibid, hlm 264

Psikologi Agama

Contoh Bentuk Konversi Agama 

Pendahuluan
Malcolm  X, seorang  tokoh  kulit hitam pertama yang secara terang-terangan menentang rasialisme di Amerika. Ia dengan gigih berusaha menghapus “Rasialisme Sistematik” sebuah kultur politik yang gagal menyantuni hidup masyarakat afro-Amerika.
Perjalanan hidup yang dialami Malcolm X, merupakan fenomena tersendiri. Ia dibesarkan dengan latar belakang kehidupan yang sarat dengan pelecehan HAM, terutama yang menyangkut perbedaan warna kulit, dan berhasil mengatasi “terbelahnya kepribadian”, terutama setelah ia menunaikan Haji ke Mekkah.
Bersama seorang jurnalis bernama Alex Haley, Malcolm berkolaborasi membuat otobiografi tentang dirinya di tahun 1965 yang diberi nama "Malcolm X". Coauthored (kolaborasi fiksi) yang dibuat Haley berdasarkan serangkaian wawancara mendalam yang dilakukannya antara tahun 1963 hingga 1965. Otobiografi tersebut berisi narasi konversi spiritual yang menguraikan filsafat Malcolm X yaitu black prideblack nationalism, dan pan-Africanism.[1]


Pembahasan
Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.
Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha[2], Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika. Muncul dari gerakan sipil negro di akhir abad 19 yang gerah dengan perdagangan budak Afrika, menyatukan visi mereka bersama dan menjadi organisasi yang besar hingga sekarang. Sementara Louisa Norton, ibunya, adalah negro yang lahir dari korban perkosaan orang kulit putih, seorang  ibu rumah tangga biasa.
Latar belakang pengasingan dan pengucilan negro yang kerap dihadapi Malcom, membuatnya begitu membenci orang kulit putih. Saat itu pembantaian terhadap negro kerap dilakukan oleh Ku Klux Klan, sebuah gerakan radikal atas supremasi kulit putih yang didirikan tahun 1865 di Tennessee. Mereka memakai topeng dengan jubah panjang berwarna putih dan menghabisi banyak keluarga negro.[3]
Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.
Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York.[4] Disana ia terlibat dalam lingkungan pertemanan kriminal, terlibat dalam bisnis narkoba juga perjudian. Tak cuma itu, pemerasan, perampokan dan bisnis prostitusi juga ia alami. Tahun 1945 ia kembali ke Boston dan masih melakukan hal yang sama, tindakan kriminal. Ini didasarinya atas kebencian pada orang kulit putih.
Pada usia 20 tahun, 12 Januari 1946, Malcolm merampok rumah kaya orang kulit putih, disidang di pengadilan, kemudian masuk penjara Charlestown, Boston bulan Februari 1946, selama 7 tahun.
Di penjara, ia berkenalan dengan John Elton Bembry yang kemudian lewat diskusi-diskusi mereka, Malcolm mengenal Nation of Islam, organisasi keagamaan yang didirikan oleh Wallace Fard Muhammad di Detroit, Michigan, Juli 1930. Dan  dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.
Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).

Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak.[5]
Tahun 1948, salah seorang tokoh Nation of Islam, Elijah Muhammad, menasehati Malcolm lewat surat untuk kembali ke jalan yang benar dan tak lagi berbuat kriminal dengan cara menundukkan hati di hadapan Tuhan. Sejak saat itu Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.
Tanggal 7 Agustus 1952, dibebaskan dari penjara, mendatangi Elijah di Chicago Illinois. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.
5 tahun lebih setelah keluar dari penjara, tanggal 14 Januari 1958, Malcolm menikahi Betty Sanders di Lansing, Michigan dan memiliki 6 orang anak yang semuanya adalah perempuan.
Malcolm aktif dalam kegiatannya di Nation of Islam, hal ini menimbulkan kecurigaan FBI yang secara khusus menyelidiki Malcolm apakah ia memiliki peran dalam Partai Komunis di Nation of Islam. Belum lagi pidato-pidato Malcolm tentang Nation of Islam yang selalu dibumbuinya dengan rasialisme, juga kebenciannya akan orang kulit putih, makin membuat FBI perlu menyelidiki secara mendalam Malcolm X.

Pidato-pidato Malcolm begitu membius dan menyihir orang-orang kulit hitam yang mendengarnya. Ia sangat kritis tentang gerakan hak-hal sipil dan menganjurkan pemisahan Amerika atas orang kulit hitam dan kulit putih dengan mendirikan negara terpisah. Ia juga secara tegas mengkritik Martin Luther King, Jr sebagai si bebal yang menjadi bonekanya orang kulit putih.
Malcolm menjadi orang nomer 2 di Nation of Islam setelah Elijah Muhammad, ia juga yang membuat organisasi ini menjadi besar dalam kurun waktu 1 dasawarsa. Di tahun 1952, Nation of Islam hanya beranggotakan 500 orang, tapi di tahun 1963 anggotanya berkembang pesat menjadi 25.000 orang.
Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.
Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin.
kepopulerannya di Nation of Islam justru membuatnya sering bersitegang dengan Elijah, salah satu tuduhannya adalah Elijah melakukan zinah dengan sekretarisnya.[6]
Sampai akhirnya tanggal 8 Maret 1964, Malcolm mengumumkan pada dunia bahwa ia meninggalkan organisasi itu dan memilih menjadi Islam yang sebenarnya tanpa terikat organisasi. Ia keluar dari Nation of Islambersama Muhammad Ali, mereka memilih Islam Sunni sebagai kepercayaannya.
Setelah lepas dari Nation of Islam, Malcolm justru banyak belajar tentang Islam dari keberagaman yang ada. Tanggal 13 April 1964, Malcolm berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk belajar Islam sekaligus berhaji. Datang dalam kondisi tak berkemampuan berbahasa Arab.
Di sini puncak kesadaran tertinggi dari Malcolm bahwa Islam itu terlalu luas, terlalu beraneka ragam tak seperti yang ia temui di Nation of Islam yang melulu orang kulit hitam. Berbagai ras ia temui saat naik haji, membuatnya berpikir tentang keanekaragaman dalam Islam. Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”[7]
Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.
Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).[8]
Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, ketika Malcolm berbicara diManhattan's Audubon Ballroom saat pertemuan Organisasi Persatuan Afro-Amerika, di antara 400-an orang yang ada di sana, timbul kerusuhan, dari situ ada yang mendekatinya dan menembaki Malcolm 16 kali dengan senapan sawed-off shotgun berlaras pendek dengan peluru kaliber .45". Malcolm meninggal tak lama kemudian di Rumah Sakit Columbia Presbyterian, jam 15.30 sore.

PROSES KONVERSI
Periode Kegelisahan
Faktor Konflik

Pada usia 20 tahun, 12 Januari 1946, Malcolm merampok rumah kaya orang kulit putih, disidang di pengadilan, kemudian masuk penjara Charlestown, Boston bulan Februari 1946, selama 7 tahun.
Faktor Sugesti
Di penjara, ia berkenalan dengan John Elton Bembry yang kemudian lewat diskusi-diskusi mereka, Malcolm mengenal Nation of Islam, organisasi keagamaan yang didirikan oleh Wallace Fard Muhammad di Detroit, Michigan,
Periode Krisis Konversi
Faktor Sugesti
Melalui kontak dengan saudara Malcolm, Philbert.  Melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).
Tahun 1948, salah seorang tokoh Nation of Islam, Elijah Muhammad, menasehati Malcolm lewat surat untuk kembali ke jalan yang benar dan tak lagi berbuat kriminal dengan cara menundukkan hati di hadapan Tuhan. Sejak saat itu Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI.
Faktor Kemauan
Berawal dari penjaralah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Tanggal 7 Agustus 1952, dibebaskan dari penjara, mendatangi Elijah di Chicago Illinois. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri.

Periode Damai, Tenang, dan Harmonis
Tanggal 13 April 1964, Malcolm berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk belajar Islam sekaligus berhaji. Datang dalam kondisi tak berkemampuan berbahasa Arab.
Di sini puncak kesadaran tertinggi dari Malcolm bahwa Islam itu terlalu luas, terlalu beraneka ragam tak seperti yang ia temui di Nation of Islam yang melulu orang kulit hitam. Berbagai ras ia temui saat naik haji, membuatnya berpikir tentang keanekaragaman dalam Islam. Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”

Periode Ekspresi Konversi
Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).
Kesimpulan
Untuk menjelaskan Malcolm X, kita tidak bisa lepas dari siapadan bagaimana dia dulu. Sebelumnya, ia adalah seorang pelaku kriminal, pecandu obat-obatan terlarang, seorang mucikari, narapidana, seorang penganut Rasisme, seorang yang benci dan percaya seratus persen bahwa kulit putih itu identik dengan “dosa”. Tetapi, semua telah berlalu. Dua hari sebelum ia meninggal, dalam komentarnya yang ditujukan kepada Gordon Parks tentang masa lalunya, ia mengatakan “itulah masa laluku ! masa lalu yang penuh penderitaan dan kegilaan! Aku gembira dapat terlepas dari padanya.”
Dan Malcolm X telah bebas, tidak ada yang mengetahuinya bahwa sebelum dan sesudah mengadakan perjalanan haji ke Makkah, ia telah membuang seluruh paham rasisme, separatisme, dan kebenciannya terhadap kulit Putih.
Tetapi ia tidak membuang seluruh pernyataan-pernyataan yang mengejutkan tentang adanya agitasi di negara ini, tidak hanya kepada kulit hitam, namun kepada seluruh orang.[9]


Referensi
Haley, Alex. Malcolm X Sebuah Otobiografi. Risalah Gusti. Surabaya. Oktober 1995

Runtuhnya sendi-sendi Orientalisme

Runtuhnya sendi-sendi Orientalisme

Pendahuluan
Secara Bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran di sebut orientalis.
Orientalisme adalah gelombang pemikiran yg mencerminkan berbagai studi ketimuran yg islami. Yang dijadikan objek studi ini mencakup peradaban agama seni sastra bahasa dan kebudayaan. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur dengan Barat.
Sebagai Muslim, setiap kita membaca buku-buku karangan orientalis, kita pasti merasakan banyak hal yang tidak beres dalam karangan-karangan itu. Apalagi kalau buku-buku itu mengenai Islam. Uraian yang akan kami bahas ingin menunjukan bahwa memang sendi-sendi ilmiah orientalis yang selama ini dianggap valid oleh banyak orang, sesungguhnya palsu dan sangat rapuh.


Pembahasan
Runtuhnya Sendi-Sendi Orientalisme
Secara historis, pertumbuhan orientalisme memang berbarengan dengan berkembangan imperialisme. Lembaga-lembaga studi oriental barat didirikan pada masa keemasan imperialisme. Di Belanda studi tentang pelbagai masalah oriental telah dimulai pada tahun 1781. Beberapa tahun terahir ini kita melihat usaha-usaha yang dilakukan para sarjana untuk membongkar kepalsuan sendi-sendi orientalisme. Namun pukulan-pukulan terhadap orientalisme itu mencapai puncaknya ketika Professor Edward Said menerbitkan bukunya berjudul Orientalum pada 1978, sebagai kritik menyeluruh terhadap bangunan orientalisme dan dogma-dogmanya.[1]
Kita berterima kasih kepada Edward Said yang telah berhasil dengan gemilang membongkar kepalsuan sendi ilmiah orientalisme. Ketika Prefesor ini berceramah di Universitas Chicago beberapa waktu lalu, para pendengarnya mengakui bahwa buku orientalism tersebut telah menyebabkan para orientalis harus menilai kembali, merevisi dan mengganti fondasi orientalisme, yang selama ini berjalan tanpa koreksi.
Fungsi orientalisme
Ketika Napoleon menaklukan Mesir pada 1789, ia membawa puluhan sarjana Prancis yang ditugaskan untuk mempelajari seluk beluk masyarakat Mesir. Tradisi ini juga ditiru oleh negara-negara penjajah seperti Inggris dan Belanda. Karena fungsi studi orientalisme juga menjadi semangat orientalisme, maka fungsi studi orientalisme adalah untuk “memahami, dalam banyak hal untuk menguasai, memanipulasi, dan bahkan menggabungkan apa yang kelihatannya sebagai dunia lain”.[2]
Pada abad ke-19 studi orientalisme telah mapan dan berakar kuat. Pokok-pokok  pikiran dan strereotip-strereotipnya menyebar ke seluruh imperialis, pokok-pokok pikiran orientalisme berkembang dengan cepat menggenangi teks-teks sejarah, ekonomi, politik, dan estetika barat.
Silvester de Sacy dan Ernest Renan dari Prancis serta Edward Lanes dari Inggris, adalah orientalis-orientalis besar yang sangat berpengaruh dalam memelihara asas-asas orientalisme yang telah diletakan sebelumnya, sambil membuat sistematika dan analisis baru yang sesuai dengan kebutuhan imperialisme. Asas terpenting yang tidak pernah goyah adalah dikotomi antara inferioritas Timur dan superioritas Barat, dekadansi Timur dan keunggulan Barat, dan semacamnya. Restrukturisasi orientalisme dan pengukuhannya di abad ke-19 telah melicinkan jalan bagi perluasan imperialisme yang kemudian dikukuhkan oleh barisan orientalis terkenal.[3]
Perlu diketahui, orientalisme yang mempelajari Timur jauh (Jepang, Korea dan Cina) dewasa ini dalam batas tertentu sudah mengalami beberapa perubahan positif dalam hal pendekatan maupun dogma-dogmanya. Mereka mau mengakui adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Timur jauh, sehingga mereka perlu mengganti alat-alat analisisnya. Akan tetapi anehnya, para orientalis yang mempelajari Islam dan masyarakatnya, Dunia Arab pada khususnya dan Timur Tengah pada umumnya, masih belum bergeser sama sekali dari doktrin-doktrin dan dogma-dogma lama yang telah usang.
Enam Macam Dogma
pertama, ada  perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya  orang Eropa dan Amerika yang merupakan    manusia-penuh,  sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia.
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bisa mengelakkan tuduhan Edward W Said bahwa mereka tidak mau   menyelidiki perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi  lebih mengutamakan isi teks-teks  kuno sehingga orientalisme  berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis.   Philiph K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat Islam yang sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat Islam sembilan abad yang lalu. [4] 
            Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat  digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif.
            Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan  sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan  cinta  pada kemerdekaan.
Keenam, kesahihan atau otentisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahihnya hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga hadis riwayat Josep Schacht.[5]
Refleksi dari dogma-dogma itu bermunculan dalam karangan-karangan mereka, kadang-kadang tersurat dan sering tersirat. Karena itu jika kita membaca buku-buku orientalis dengan teliti dan dengar pikiran praktis, kita akan banyak sekali menjumpai ketidak jujuran intelektual dan pikiran-pikiran yang menyesatkan. Tidak berlebihan kiranya kalau kita bersama Edward Said menggelari tradisi orientalisme itu sebagai skandal intelektual yang menjijikan, yang penuh dengan dosa intelektual.[6]
Beberapa Contoh Orientalis
1.      Hamilton A.R. Gibb
Ia meninggal tahun 1971. Dulu mengajar di Oxford dan Harvard. Pendapat-pendapat Gibb mengenai Islam sering dianggap simpatik oleh kalangan sarjana Islam sendiri. Salah satu pendapatnya yang simpatik adalah ia menyatakan bahwa Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization (Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi, ia adalah peradaban yang sempurna). Namun jika diteliti dalam salah  satu bukunya ia mengarahkan pembacanya supaya yakin bahwa pada zaman     modern peranan Islam dalam kehidupan  sosial   pasti   akan   sirna. Secara   ringkas  argumennya   adalah:
sebagai agama dalam arti  sempit, Islam hanya kehilangan sedikit kekuatannya. Namun sebagai penentu dalam kehidupan sosial di zaman modern, Islam sedang dicopot dari singgasananya. Dalam kehidupan modern terlalu banyak masalah yang tidak  ada sangkut pautnya dengan Islam. Dalam hal ini, Islam tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah pada keadaan, dan Islam akan ditelan oleh perkembangan zaman15. Orang Islam yang tertarik pada Gibb ini tentu akan berpikir bahwa sekularisme  memang tepat untuk kemajuan Islam.
Tetapi kepintaran Gibb inilah yang menyebabkan ia berpendapat bahwa Al-Qur’an hanyalah karangan dan buatan Nabi belaka. Juga menanamkan Islam sebagai Mohammadanism, Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini.

2.      Wilfred Cantwell Smith[7]
Orientalis ini sering juga dianggap simpatik pada Islam. Bukunya Islam in Modern Historysangat masyhur termasuk di negara kita. Setelah kita selesai membaca buku ini penilaian aneh segera timbul karena menurut Smith perkembangan yang paling menggembirakan dalam dunia Islam sedang dialami oleh Islam di India dan Turki.  
Tetapi bagaimana mungkin Smith bisa mengambil kesimpulan yang begitu ahistorical?Islam sedang terbentur-bentur di samudera India, dan sampai sekarang pun tetap jadi minoritas yang keadaannya sangat memprihatinkan, sedangkan ketika buku Smith itu terbit (1957), Islam di Turki sedang bergulat dengan sisa-sisa Sekularisme Attaturk yang mengakibatkan luka-luka terlalu dalam.
3.      Montgomery Watt[8]
Selain dipandang lembut dan simpatik pada Islam, Watt dinilai juga sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari  sumber-sumber Islam. Walaupun demikian kita memperoleh sebuah nasehat  yang bagus dalam bab terakhir bukunya Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan analisisnya, Watt cukup berbesar jiwa mau mengakui bahwa Islam bisa memiliki peranan besar di dunia ini pada masa mendatang. Namun cepat ia menambahkan bahwa Islam harus bersedia mengakui asal-usulnya. Apa yang ia maksud? Tidak lebih dari pada pencampurbauran unsur-unsur Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan sumber-sumber lain. Logika selanjutnya adalah umat Islam supaya mau melepaskan al-Qur’an kalau ingin memiliki peranan di masa mendatang.
Karya-karya Watt tentang Islam terhitung banyak. Kebanyakan kajiannya adalah tentang sejarah Islam. Karya-karyanya antara lain adalah: Muhammad at Mecca, Muhammad atMedina, The Majesty That Was Islam, History of Islamic Spains, The Influence of Islam in Medieval Europe. Dalam karya yang disebut terakhir, ia dengan meyakinkan menegaskan jasa besar Islam di bidang ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.
4.      Gustave von Grunebaum[9]
tokoh ini tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap Islam. Di antara buku-bukunya  yang  mencaci-maki  Islam adalah Modern Islam : The Search for Cultural Identity. Dalam buku ini antara lain ia menyatakan bahwa peradaban Islam tidak memiliki aspirasi-aspirasi primer seperti peradaban lainnya. Ciri peradaban Islam adalah antikemanusiaan. Selain itu, Islam tidak punya etik formatif dan kekurangan kesegaran intelektual. Kaun Muslim tidak bisa maju, tidak ilmiah, tidak bisa obyektif, tidak kreatif, dan otoriter. Islam di tangan von Grunebaum adalah Islam yang direduksi dan ditempeli sifat-sifat negatif yang bisa dikhayalkan oleh Grunebaum. Kebenciannya juga dituangkan dalam bukunya Medieval Islam


Penutup
Kesimpulan
Dogma-dogma orientalisme dan sedikit contoh di atas kiranya cukup menyadarkan kita supaya berhati-hati dalam menghadapi orientalisme. Mereka yang paling “Simpatik” pun masih menyelip-nyelipkan pendapat-pendapat yang menyesatkan. Terutama menimbulkan semacam skeptisisme dalam diri kita, yaitu keragu-raguan terhadap kesucian Islam sebagai wahyu terahir.
Memang ada fakta yang menyedihkan di dunia Islam. Karena keteledoran para cendekiawan Muslim sendiri, banyak buku orientalis yang dijadikan semacam sumber untuk mempelajari Islam. Buku Von Grunebaum, umpanya, pernah menjadi buku standar di Universitas Teheran. Di Indonesia sendiri, Cambridge Historty of Islam banyak digunakan sebagai referensi baku di beberapa universitas untuk kuliah sejarah Islam.
Kita jangan sampai lupa bahwa sekeras-keras Orientalis berusaha untuk memahami Islam, ia tidak akan pernah sampai pada sesuatu pengertian seperti kita memahami Islam. Orientalis menangkap Islam hanya dengan Panca Indra dan pikiran mereka, sedangkan kita menangkap Islam dengan dengan seluruh pikiran, hati, dan matahati kita.
Setelah mengerti dogma-dogma  dan hakikat orientalisme, tak selayaknya lagi kita terpukau oleh tulisan mereka, apalagi sampai tertipu oleh mereka. Ini tidak berarti kita haram untuk membacanya.
Referensi
Ø Masruri, Siswanto. Orientalisme. Yogyakarta. 2009.


[1] Siswanto Masruri, Orientalisme, Yogyakarta, 2009, hlm 211
[2] Ibid, hlm 213
[3] Ibid, hlm 214
[6] Siswanto Masruri, Op Cit, hlm 216
[7] Siswanto Masruri, Op Cit, hlm 217
[8] Ibid, hlm 217
[9] Ibid, hlm 217