Pendahuluan
Latar Belakang
Tak ada yang pernah bisa dan berani menyangkal bahwa perbincangan apapun tentang filsafat Islam atau Rasionalisme Islam bila tidak menyertakan kiprah intelektual Ibnu Rusyd, tokoh dari Andalusia, adalah sama saja dengan omong kosong. Demikian kira-kira ungkapan yang sangat tepat untuk menggambar urgensi kontribusi filsafat Ibnu Rusyd. Apa gerangan yang telah disumbangkan oleh Ibnu Rusyd?
Ibnu Rusyd terlukiskan bukan hanya sebagai filsuf yang gemar merasionalisasikan “segala sesuatu” dalam bingkai nalar-logis-positivistik, melainkan juga melibatkan dimensi iman yang kritis dan inilah yang membedakan capaian filsafat Islam dengan filsafat non-Islam lainnya. Ibnu Rusyd sekalipun tidak menapik potensi kemampuan akal untuk mengetahui pengetahuan tentang Tuhan, tidak berarti kemudian ia menempatkan capaian nalar logis sebagai “puncak segalanya”. Buktinya, ia sangat tekun mempertahankan dimensi non rasional yang berkembang dalam tradisi Islam, yang terlihat melalui penggunaan metode kritik yang mencakup dua dimensi sekaligus: dialektika teologi dan dialektika sufistik.
Oleh karena itu, kita tidak dapat menyangkal lagi bahwa sumbangan yang diberikan oleh Ibnu Rusyd terhadap sejarah filsafat Arab sangatlah besar. Seseorang yang berkeinginan mempelajari pemikiran filsafat arab, tentu dia tidak boleh melupakan filsuf ini dan mengabaikan filsafatnya. Baik dari segi metode kritik atau dari segi kontribusi pemikirannya (al-ijabi at-tarkibi)[1]
Pembahasan
Biografi Ibnu Rusyd
Spanyol muslim telah menghasilkan beberapa bintang intelektual paling cemerlang selama abad pertengahan. Seorang diantaranya adalah Ibnu Rusyd, yang di barat lebih dikenal sebagai Averroes. Di seluruh dunia ia diakui sebagai filosof Islam terbesar, dan salah seorang yang terbesar dari semua zaman.
Abdul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd lahir di sebuah kota metropolis Spanyol Muslim Cordova, pada tahun 520 H / 1126 M. Dia berasal dari keluarga muslim Cordova termasyhur, yang memegang jabatan tinggi Qadi besar selama dua generasi terakhir, Ibnu Rusyd sendiri memegang jabatan yang sama pada generasi ketiga. Kakeknya, Abdul Walid Muhammad Ibn Rusyd (1058-1126 M) adalah seorang Ulama terkemuka dari mazhab Maliki, yang juga menjadi imam masjid agung Cordova.
Ibnu Rusyd mendapat pendidikan di kota kelahirannya yang merupakan tempat pendidikan tertinggi di barat. Ia memulai dengan mempelajari pelajaran Hadist, Fiqh, dan Ilmu kedokteran. Selama itu pula ia hidup sezaman dengan beberapa tokoh pemikir terkemuka di Spanyol, yaitu Ibn Zuhr, Ibn Bajjah, dan Ibn Tufail. [2]
Pada tahun 1182 M ia diundang ke Marakisy untuk diangkat menjadi dokter istana bagi khalifah Abu Ya’qub Yusuf, menggantikan Ibnu Tuffail yang telah berusia lanjut. Tetapi Ibnu Tuffail masih menjabat sebagai wazir. Sebagai dokter istana, Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan terhormat yang belum pernah ia mendapatkannya. Khalifah pun berkenan dan senang dengan keberadaannya di istana itu, karena ia tidak hanya dapat menjalankan tugas-tugas kedokterannya dengan baik, tapi juga menjadi teman yang baik bagi khalifah dalam perbincangan dan diskusi mengenai topik-topik ilmiah.
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirah-nya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu factor yang ikut melapangkan jalan baginya menjadi seorang ilmuwan. Faktor lain yang lebih dominan dari keberhasilannya adalah ketajaman berfikir dan kegeniusan otaknya dalam berilmu. Oleh karena itu wajar jikalau ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana all-round yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab, dan lainnya.
Dan ada satu hal lagi yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, sejak mulai berakal, Ibnu Rusyd tidak perbah meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada waktu ayahnya meninggal dan malam perkawinanya.[3]
Kariernya Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman pahit yang menimpa. Pada tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot segala jabatannya dan buku-bukunya pun juga dibakar, kecuali yang bersifat ilmu pengetahuan murni (kedokteran, matematika, dan astronomi).
Tapi masa ini dialaminya hanya. Pada tahun 1197 M. Khalifah mancabut hukumnya dan merehabilitasi posisinya kembali, tapi tidak lama ia menikmati kebebasannya itu lalu ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/ 9 Syafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijriyah.[4]
Karya Ibnu Rusyd
Karya Ibnu Rusyd terdiri dari 28 buku mengenai filsafat, 5 buku megenai agama, 8 buku mengenai hukum islam dan 10 buku mengenai kedokteran.
Dalam filsafat cara berfikir Ibnu Sina disempurnakan oleh Ibnu Rusyd. Sehingga pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Dalam filsafat cara berfikir Ibnu Sina disempurnakan oleh Ibnu Rusyd. Sehingga pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Didunia Islam sendiri Ibnu Rusyd lebih terkenal sebagai seorang filusuf yang manentang Al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat Al-Ghazali adalah; tahafut-tahafut (reaksi atas buku Al-Ghazali), Tahafut fatasilah.Tetapi dalam dunia islam sendiri filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh besar. Malah karena isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama islam yang umum, Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Karena pendapatnya itu juga pernah dibuang oleh khalifah Abu yusuf dan diasingkan ke Lucena (Alisana). [5]
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa arab yang sampai kepada kita sekarang hanya sedikit. Sebagian adanya adalah buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.
Diantara karangannya tentang filsafat adalah:
Diantara karangannya tentang filsafat adalah:
§ Tahafut Al-tahafut
§ Risalah fi Ta’lluqi ‘ilmillahi ‘an Adami Ta’alluqihi bil-juziat
§ Tafsiru ma ba’dat-tabiat
§ Fashlul-Maqal fi ma bainal-hikmah wasy-Syrah Minal-ittisal dan Lain-lain
Pemikiran Ibnu Rusyd
Tentang Alam
Di dalam kitabnya Faslul Maqal fiima baina al-Hikmah wa al-Syari’ah bi al-ittishal, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa manusia terbagi menjadi tiga golongan, golongan pertama adalah golongan yang bukan ahli interpretasi (ta’wil) sama sekali dan mereka disebut ahli retorika yang pada umunya dari kalangan masyarakat umum. Mereka hanya mempu menerima pembuktian kebenaran jenis retorika ini. Golongan kedua adalah golongan yang merupakan ahli interpretasi dialektika dan mereka biasanya disebut ahli dialektika. Baik karena bakatnya atau bakat itu ditambah kebiasaan (Biasanya para teolog). Golongan ketiga adalah mereka yang merupakan ahli interpretasi yakini. Mereka biasanya disebut ahli metode demonstratif, baik karena bakat atau karena latian-latian dalam filsafat(hikmah).
Berkaitan dengan argumen pertama yang dikemukakan Ibnu Rusyd, seperti argumen para teolog, yaitu argumen tentang kebaharuan, menurut kami argumen ini dibangun di atas keyakinan bahwa alam dipandang sebagai baharu. Dalam artian dicipta dari tidak ada, dan ia tidak qodim, itu artinya ada dari materi pertama yg azali.
Dengan demikian, ada hubungan antara pendapat tentang kebaharuan alam dengan pendapat tentang adanya Allah. Jika alam itu baharu, pasti ada yang memperbaharui. Yang berpendapat demikian umumnya para teolog, seperti al-Kindi ketika berpendapat tentang argumen adanya Allah. Argumen ini pun diperkuat dengan dalil Al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 164
إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار والفلك التي تجري في البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها وبث فيها من كل دآبة وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء والأرض لآيات لقوم يعقلون
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal (memikirkan)". (Q.S. Al Baqarah [2]: 164).
Para teolog dalam membuktikan adanya Allah selalu berpedoman kepada argumen kebaharuan ini, yang didasarkan pada alasan bahwa Jism (materi) terdiri dari bagian-bagian yang tidak terbagi lagi, yaitu substansi-substansi. Substansi-substansi ini merupakan sesuatu yang baharu. Kemudian jism yang tersusun dari substansi-substansi itu tentunya juga baharu. Jika substansi-substansi itu baharu maka pastilah bagi mereka ada yang memperbaharui (Allah).
Dengan demikian, alam dengan seluruh unsur-unsur, jism dan wujud-wujudnya terdiri dari tumbuhan dan hewan, baik hewan yang berbicara maupun tidak merupakan makhluq yang dimulai dari tidak ada, tidak berbentuk, tidak berdzat, tidak beresensi dan tidak pula berbentuk sesuatu.[6]
Menurut Ibnu Rusyd, alam ini mengalami proses perubahan dan pembaharuan terus menerus sejak azali dan bahwa secara keseluruhan, alam ini merupakan kesatuan yang azali, yang niscaya, yang tidak boleh mengalami ketiadaan dan tidak mungkin ia berada dalam sesuatu yang bukan jati dirinya. Jika perubahan alam ini dipandang azali, niscaya ia membutuhkan gerak yang azali, dan gerak azali ini tentunya juga membutuhkan penggerak yang Azali. Jika alam ini baharu, kita terpaksa mengatakan bahwa ada alam lain yang baharu yang muncul darinya dan begitulah hingga tanpa berkesudahan. Akhirnya berakhir pada kesimpulan bahwa disana ada kebaharuan terus menerus sejak azali, artinya alam ini berada dalam kebaharuan terus menerus.
Dengan demikian, perbedaan antara Allah yang qodim dan alam yang qodim menjadi sempurna, dengan argumen bahwa keqodiman alam dipahami sebagai proses kebaharuan terus menerus.[7]
Ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang Partisial
Salah satu alasan Al-Ghozali mengkafirkan para filosof adalah masalah pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partisial. Setelah Ibnu Rusyd mempelajari masalah tersebut, maka akhirnya ia mengatakan bahwa mereka yang menuduh para filosof telah mengingkari pengetahuan Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa kecil, sebenarnya mereka itu tidak memahami maksud kata-kata filosof, karena sebenarnya mereka tidak mengingkari ilmu-Nya sama sekali, melainkan mengingkari ilmu yang mirip dengan makhluq, yakni ilmu yang ditimbulkan oleh wujud, bukan ilmu yang menjadi Illah bagi wujud.[8]
Yang dimaksud para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang persial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat panca indra untuk mengetahui yang persial. Oleh karena itu, kata lbnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat, juz’Idan kulli
Dari itu jelas bahwa al-Ghazali menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedang para filosof muslim terkesan membedakannya. Namun pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah maha mengetahui (persial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara mengetahui Allah.[9]
Penutup
Kesimpulan
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaanya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran di kalangan kaum muslim.
Setelah mempelajari Ibnu Rusyd, kiranya kita dapat melihat bagaimana Ibnu Rusyd menaruh perhatian yang besar kepada filsafat dan para pemikir-pemikir sebelumnya. Terutama dalam membela pemikiran para filosof sebelumnya ketika menghadapi hujatan dari Al-Ghozali. Sudah disebutkan bahwa Al-ghazali telah menghukumi kafir terhadap para filosof dalam tiga masalah. Keputusan Al-Ghozali tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Ibnu Rusyd. Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa kecil tidak tepat, karena masalah ini tidak menjadi pendapat para filosof. Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam juga tidak tepat, karena pengertian qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama kalam.
Daftar Pustaka
Al-Iraqi, Dr. Muhammad Afif. Metode Krtitik Filsafat Ibnu Rusyd. IRCISoD. 2003
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim terkemuka. Pustaka Firdaus. 1993
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1991
[1] Dr. Muhammad Afif Al-Iraqi, Metode Krtitik Filsafat Ibnu Rusyd, IRCISoD, 2003, hal 5
[2] Jamil Ahmad, Seratus Muslim terkemuka, Pustaka Firdaus, 1993, hlm 157
[3] Ibid, hlm 158
[4] http://alfian19azmi.wordpress.com/2011/02/15/mengenal-ibnu-rusyd-dan-pemikirannya
[5] http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/
[6] Dr. Muhammad Afif Al-Iraqi, Metode Krtitik Filsafat Ibnu Rusyd, IRCISoD, 2003, hlm 55
[7] Ibid, hlm 72
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm 181
[9] http://alfian19azmi.wordpress.com/2011/02/15/mengenal-ibnu-rusyd-dan-pemikirannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar