Etika Protestan dan Kapitalisme
Pendahuluan
Eropa pada Abad Pertengahan memperlihatkan situasi yang sangat menarik. Pandangan keagamaan umat Kristen, sebagaimana diketahi memberikan makna moral kepada umat dengan beberapa persyaratan. Kehidupan di dunia ini dikuduskan hanya jika di pandang dari sudut dunia lain dan tujuan-tujuan non empirik. Pencapaian keselamatan adalah menjadi tujuan yang paling pokok umat kristen. Oleh karena itu masalah moral yang berhubungan dengan aktivitas duniawi yang mendalam di pandang sebagai sesuatu yang pokok, terserah bagaimana seseorang terlibat asaltidak terjatuh ke dalam dosa; demikian juga tidak menghilangkan kesempatan untuk memperoleh penyelamatan dan masuk surga.
Dalam dilema ini tujuan-tujuan sosial untuk mendapat harta kekayaan dan aktivitas itu sebagai syarat datangnya anugerah Tuhan, yang berarti juga pertanda akan datangnya penyelamatan kepada diri seseorang. Kekayaan disini harus dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dipergunakan dan bukan untuk ditimbun atau ditumpuk dengan rakus. Oleh karena itu pendapatan yang diperoleh dengan cara membabi buta dan tidak jujur dikutuk secara keagamaan. Begitu pula cara pemakaiannya yang bersifat irrasional mesti dijauhi.
Pembahasan
Etika Protestanisme sebagai protes terhadap katolisisme
Reformasi bemula dari seorang tokoh bernama Martin Luther (1483-1546). Luther sebagai seorang rahib sekaligus seorang doktor teologi yang memiliki kecerdasan berpikir tentu tidak seperti orang kebanyakan, yang menerima begitu saja semua apa yang dikatakan Paus di Roma. Oleh karena itu, maka ketika Paus Leo X menyarankan kepada Uskup Besar Albrecht dan Mainz untuk memperdagangkan “surat penghapusan dosa” secara besar-besaran di Jerman, dengan berani ia menentangnya. Perbuatnnya telah mendorong kaisar Karel V mengadakan suatu “rapat kerajaan” dan mengeluarkan “Edik Worms”, dimana Luther dengan para pengikutnya dikucilkan dalam masyarakat dengan “kutuk kerajaan”. Semua karangan Luther harus dibakar. Ia sendiri boleh ditangkap dan dibunuh oleh siapa saja yang menemuinya. Keadaan ini tidak melemahkan pengikut Luther, bahkan sebaliknya. Karena pertikaian yang berkepanjangan, maka tahun 1529 diadakan pula rapat kerajaan di Jerman. Akan tetapi karena kebanyakan yang hadir adalah para pengikut Roma Katolik, maka rapat itu memutuskan untuk melarang adanya reformasi di seluruh wilayah kekaisaran. Hal ini tidak bisa diterima oleh para pengikut Luther, mereka mengemukakan ‘Protes’ dengan kerasnya. Sebab itu timbullah istilah “orang Protestan” dan selanjutnya agama Protestan.[1]
Selama berjalannya waktu, terdapat beberapa perbedaan yang menonjol antara pengikut Katolik dan Protestan. Orang katolik memperlihatkan kecenderungannya pada bidang garap atau pekerjaan tetap, tanpa ada keinginan keras untuk maju. Sebaliknya orang Protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk terus meningkat dan berkembang. Kenyataanya seperti ini jelas memperlihatkan terdapatnya perbedaan dari kedua agama tersebut. Keduanya telah memberikan budaya mental dan spritual yang berbeda.
Berdasarkan suatu analisis yang dangkal dan kesan mutakhir yang bisa didapatkan, kemungkinan seseorang tertarik untuk mengungkapkan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa ajaran katolik lebih menitikberatkan pada watak asketiknya yang ideal, yang mendidik dan mengarahkan anggota-anggotanya untuk tidak menghiraukan perkara-perkara yang berhubungan dengan harta duniawi.[2]
Meskipun kedua agama ini memiliki kecenderungan yang sama, tetapi orang Protestan telah memberikan kritik kepada orang Katolik berdasarkan cita hidup yang bercorak asketik ini. Sebalikya orang Katolik telah melempar tuduhan kepada orang Protestan bahwa materialisme yang merupakan hasil dari sekularisasi adalah merupakan cita hidup mereka.
Pernyataan di atas mungkin saja merupakan pernyataan yang benar sekalipun tidak lengkap, yang telah menandai motif-motif bagian terbesar orang Protestan di Jerman saat itu. Sebab sesuatu yang sama sekali lain telah terjadi, yaitu kalangan pengikut puritan Inggris, Belanda, dan Amerika. Mereka ditandai oleh kehidupan yang sangat menentang pada kemewahan dan kesenangan. Inilah yang ditekankan oleh gereja Calvinis dimana pun, terutama setelah melewati perjuangan agama. Mereka tetap bertahan dalam keagamaannya yang kokoh, mengikuti karakter dan watak agamanya yang murni.
Berbeda dengan orang Katolik di Prancis, pada umumnya tertarik dengan kesenangan dan kemewahan – pada tingkatan yang rendah – akan tetapi pada tahapan yang lebih jauh, banyak diantara mereka yang tidak peduli lagi dengan agama. Begitu pula dengan pengikut Protestan di Jerman, mereka yang terlibat dalam kehidupan ekonomi duniawi akhirnya bersikap acuh tak acuh terhadap agama.[3]
Etika Protestan dan Proses Sekularisasi
Agama Protestan merupakan refleksi ideologis dari perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai sesuatu penglihatan yang wajar, karya weber bermula dari keganjilan, penyimpangan yang jelas terlihat dan yang identifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinilitas sebenarnya dari The Protestant Ethnic. Biasanya demikianlah yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh tak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama, karena kegiatan mereka tertuju kepada ‘materil’. Akan tetapi agama Protestan, bukannya mengendurkan pengawasan gereja atas kegiatan-kegiatan sehari-hari, malahan menuntut dari para penganut agama Protestan disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik. Dan dengan demikian memasukan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan para penganutnya.[4]
Namun seiring berjalannya waktu hingga dewasa ini perkembangan kapitalisme sangat pesat dan agama pun semakin merosot dengan segala kepercayaannya. Bagi Weber ‘kekecewaan’ yang progresif di dunia, merupakan suatu proses, yang dengan sendirinya dirangsang oleh rasionalisasi yang pada gilirannya didorong oleh ramalan-ramalan agama. Penghapusan tata cara agama dilengkapi dengan majunya Calvinisme, yang pada gilirannya menjadi semakin tidak relevan dengan kedewasaan produksi industri kapitalis.[5]
Marx menerima arti penting historis mengenai pertalian antara etika Protestan dan semangat kapitalis. Menurut Marx rasionalitas tampak dalam dominasi pasaran diantara hubungan manusia, di dalam usaha mengejar keuntungan keuangan sebagai suatu tujuan tersendiri. Yang itu menjadi perlambangan dari keterasingan diri di bawah kapitalisme Modern, oleh karena uang itu menurunkan semua nilai manusia menjadi nilai kautitatif dari pertukaran. Dengan demikian kapitalisme itu mempunyai suatu sifat menguniversalisasikan, yang membongkar keistimewaan-keistimewaaan dari budaya-budaya tradisional, dan yang melahirkan ‘moral uang’ sendiri. Kapitalisme menghancurkan pemuasan-hati-diri yang terkurung dalam batas-batas yang sempit dan yang disadari oleh suatu cara hidup yang tradisional serta reproduksi.
Kapitalisme berlaku seperti seorang pertapa dalam makna bahwa tindakan-tindakan para kapitalis didasarkan di atas penolakan diri dan di atas pengulangan penanaman modal dari keuntungan-keuntungan. Di kemukakan oleh Marx bahwa hal ini tampak dalam teori tentang ekonomi politik : ‘ oleh karenanya, ekonomi politik, sains mengenai kekayaan, pada saat yang sama merupakan sains mengenai penolakan diri, tentang hidup serba kurang dan tentang menabung.... ideal sebenarnya, ialah seorang yang kikir yang hidup seperti orang pertapa namun berfungsi sebagai tukang riba, dan menjadi seorang budak yang hidup seperti orang pertapa, namun produktif ’. Mengejar kekayaan demi kekayaan merupakan suatu fenomena yang hanya didapatkan di dalam kapitalisme modern.[6]
Penutup
Kesimpulan
Dunia Protestan merupakan aliran dalam agama Kristen yang dihasilkan melalui sebuah reformasi besar oleh para filosof, seperti Calvin dan Luther. Dikarenakan orang-orang Katolik cenderung terkungkung oleh kebijakan Paus yang otoriter dan dunia Katolik yang jauh lebih tertutup dari pada dunia Protestan. Hal tersebut jauh bersifat luar dunia (other-wordly) dari pada agama Protestan yang bersifat (inner-wordly).
Dari uraian yang panjang mengenai agama Protestan, secara keseluruhan kami berusaha untuk menangkap refleksi ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama dimana kemudian dipertemukan dengan fenomena yang mengitari pertumbuhan agama tersebut. Dari fenomena ini ternyata ditemukan kesejalanan. Gejala pertumbuhan agama protestan mempunyai kaitan yang sangat dekat dengan prilaku penganutnya di bidang ekonomi.
Fenomena ‘Kapitalisme Modern’ yang semakin berkembang mulai meninggalkan sedikit-demi sedikit ajaran etik agama sehingga membuat para penganutnya menjadi seakan mendewakan harta dunia dan hanya mengorientasikan hidupnya hanya untuk matrial dunia beserta kekayaan-kekayaanya. Sehingga melalaikan para pengikutnya akan prinsip moral agama dan semakin menjauh dari tuntunan agama sehingga mencapai puncaknya menjadi sekular yang membedakan antara urusan agama dan dunia.
Daftar Pustaka
Sudrajat, Ajat. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Indonesia. Oktober 1994. Bumi Aksara. Jakarta.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI-Press. Jakarta. 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar