Senin, 09 Januari 2012

Runtuhnya sendi-sendi Orientalisme

Runtuhnya sendi-sendi Orientalisme

Pendahuluan
Secara Bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang yang menekuni dunia ketimuran di sebut orientalis.
Orientalisme adalah gelombang pemikiran yg mencerminkan berbagai studi ketimuran yg islami. Yang dijadikan objek studi ini mencakup peradaban agama seni sastra bahasa dan kebudayaan. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur dengan Barat.
Sebagai Muslim, setiap kita membaca buku-buku karangan orientalis, kita pasti merasakan banyak hal yang tidak beres dalam karangan-karangan itu. Apalagi kalau buku-buku itu mengenai Islam. Uraian yang akan kami bahas ingin menunjukan bahwa memang sendi-sendi ilmiah orientalis yang selama ini dianggap valid oleh banyak orang, sesungguhnya palsu dan sangat rapuh.


Pembahasan
Runtuhnya Sendi-Sendi Orientalisme
Secara historis, pertumbuhan orientalisme memang berbarengan dengan berkembangan imperialisme. Lembaga-lembaga studi oriental barat didirikan pada masa keemasan imperialisme. Di Belanda studi tentang pelbagai masalah oriental telah dimulai pada tahun 1781. Beberapa tahun terahir ini kita melihat usaha-usaha yang dilakukan para sarjana untuk membongkar kepalsuan sendi-sendi orientalisme. Namun pukulan-pukulan terhadap orientalisme itu mencapai puncaknya ketika Professor Edward Said menerbitkan bukunya berjudul Orientalum pada 1978, sebagai kritik menyeluruh terhadap bangunan orientalisme dan dogma-dogmanya.[1]
Kita berterima kasih kepada Edward Said yang telah berhasil dengan gemilang membongkar kepalsuan sendi ilmiah orientalisme. Ketika Prefesor ini berceramah di Universitas Chicago beberapa waktu lalu, para pendengarnya mengakui bahwa buku orientalism tersebut telah menyebabkan para orientalis harus menilai kembali, merevisi dan mengganti fondasi orientalisme, yang selama ini berjalan tanpa koreksi.
Fungsi orientalisme
Ketika Napoleon menaklukan Mesir pada 1789, ia membawa puluhan sarjana Prancis yang ditugaskan untuk mempelajari seluk beluk masyarakat Mesir. Tradisi ini juga ditiru oleh negara-negara penjajah seperti Inggris dan Belanda. Karena fungsi studi orientalisme juga menjadi semangat orientalisme, maka fungsi studi orientalisme adalah untuk “memahami, dalam banyak hal untuk menguasai, memanipulasi, dan bahkan menggabungkan apa yang kelihatannya sebagai dunia lain”.[2]
Pada abad ke-19 studi orientalisme telah mapan dan berakar kuat. Pokok-pokok  pikiran dan strereotip-strereotipnya menyebar ke seluruh imperialis, pokok-pokok pikiran orientalisme berkembang dengan cepat menggenangi teks-teks sejarah, ekonomi, politik, dan estetika barat.
Silvester de Sacy dan Ernest Renan dari Prancis serta Edward Lanes dari Inggris, adalah orientalis-orientalis besar yang sangat berpengaruh dalam memelihara asas-asas orientalisme yang telah diletakan sebelumnya, sambil membuat sistematika dan analisis baru yang sesuai dengan kebutuhan imperialisme. Asas terpenting yang tidak pernah goyah adalah dikotomi antara inferioritas Timur dan superioritas Barat, dekadansi Timur dan keunggulan Barat, dan semacamnya. Restrukturisasi orientalisme dan pengukuhannya di abad ke-19 telah melicinkan jalan bagi perluasan imperialisme yang kemudian dikukuhkan oleh barisan orientalis terkenal.[3]
Perlu diketahui, orientalisme yang mempelajari Timur jauh (Jepang, Korea dan Cina) dewasa ini dalam batas tertentu sudah mengalami beberapa perubahan positif dalam hal pendekatan maupun dogma-dogmanya. Mereka mau mengakui adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Timur jauh, sehingga mereka perlu mengganti alat-alat analisisnya. Akan tetapi anehnya, para orientalis yang mempelajari Islam dan masyarakatnya, Dunia Arab pada khususnya dan Timur Tengah pada umumnya, masih belum bergeser sama sekali dari doktrin-doktrin dan dogma-dogma lama yang telah usang.
Enam Macam Dogma
pertama, ada  perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya  orang Eropa dan Amerika yang merupakan    manusia-penuh,  sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setengah-manusia.
Kedua, abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan daripada bukti-bukti nyata dari masyarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak bisa mengelakkan tuduhan Edward W Said bahwa mereka tidak mau   menyelidiki perubahan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi  lebih mengutamakan isi teks-teks  kuno sehingga orientalisme  berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis.   Philiph K Hitti, umpamanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari Islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat Islam yang sekarang ini masih persis sama dengan masyarakat Islam sembilan abad yang lalu. [4] 
            Ketiga, Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat  digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup obyektif.
            Keempat, pada dasarnya Timur itu merupakan  sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima, al-Quran bukanlah wahyu Ilahi, melainkan hanyalah buku karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan tidak menganjurkan  cinta  pada kemerdekaan.
Keenam, kesahihan atau otentisitas semua hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahihnya hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga hadis riwayat Josep Schacht.[5]
Refleksi dari dogma-dogma itu bermunculan dalam karangan-karangan mereka, kadang-kadang tersurat dan sering tersirat. Karena itu jika kita membaca buku-buku orientalis dengan teliti dan dengar pikiran praktis, kita akan banyak sekali menjumpai ketidak jujuran intelektual dan pikiran-pikiran yang menyesatkan. Tidak berlebihan kiranya kalau kita bersama Edward Said menggelari tradisi orientalisme itu sebagai skandal intelektual yang menjijikan, yang penuh dengan dosa intelektual.[6]
Beberapa Contoh Orientalis
1.      Hamilton A.R. Gibb
Ia meninggal tahun 1971. Dulu mengajar di Oxford dan Harvard. Pendapat-pendapat Gibb mengenai Islam sering dianggap simpatik oleh kalangan sarjana Islam sendiri. Salah satu pendapatnya yang simpatik adalah ia menyatakan bahwa Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civilization (Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem teologi, ia adalah peradaban yang sempurna). Namun jika diteliti dalam salah  satu bukunya ia mengarahkan pembacanya supaya yakin bahwa pada zaman     modern peranan Islam dalam kehidupan  sosial   pasti   akan   sirna. Secara   ringkas  argumennya   adalah:
sebagai agama dalam arti  sempit, Islam hanya kehilangan sedikit kekuatannya. Namun sebagai penentu dalam kehidupan sosial di zaman modern, Islam sedang dicopot dari singgasananya. Dalam kehidupan modern terlalu banyak masalah yang tidak  ada sangkut pautnya dengan Islam. Dalam hal ini, Islam tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah pada keadaan, dan Islam akan ditelan oleh perkembangan zaman15. Orang Islam yang tertarik pada Gibb ini tentu akan berpikir bahwa sekularisme  memang tepat untuk kemajuan Islam.
Tetapi kepintaran Gibb inilah yang menyebabkan ia berpendapat bahwa Al-Qur’an hanyalah karangan dan buatan Nabi belaka. Juga menanamkan Islam sebagai Mohammadanism, Gibb mencoba menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini.

2.      Wilfred Cantwell Smith[7]
Orientalis ini sering juga dianggap simpatik pada Islam. Bukunya Islam in Modern Historysangat masyhur termasuk di negara kita. Setelah kita selesai membaca buku ini penilaian aneh segera timbul karena menurut Smith perkembangan yang paling menggembirakan dalam dunia Islam sedang dialami oleh Islam di India dan Turki.  
Tetapi bagaimana mungkin Smith bisa mengambil kesimpulan yang begitu ahistorical?Islam sedang terbentur-bentur di samudera India, dan sampai sekarang pun tetap jadi minoritas yang keadaannya sangat memprihatinkan, sedangkan ketika buku Smith itu terbit (1957), Islam di Turki sedang bergulat dengan sisa-sisa Sekularisme Attaturk yang mengakibatkan luka-luka terlalu dalam.
3.      Montgomery Watt[8]
Selain dipandang lembut dan simpatik pada Islam, Watt dinilai juga sebagai sangat teliti dan hati-hati dalam mempelajari  sumber-sumber Islam. Walaupun demikian kita memperoleh sebuah nasehat  yang bagus dalam bab terakhir bukunya Islam and the Integration of Society. Setelah memaparkan analisisnya, Watt cukup berbesar jiwa mau mengakui bahwa Islam bisa memiliki peranan besar di dunia ini pada masa mendatang. Namun cepat ia menambahkan bahwa Islam harus bersedia mengakui asal-usulnya. Apa yang ia maksud? Tidak lebih dari pada pencampurbauran unsur-unsur Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan sumber-sumber lain. Logika selanjutnya adalah umat Islam supaya mau melepaskan al-Qur’an kalau ingin memiliki peranan di masa mendatang.
Karya-karya Watt tentang Islam terhitung banyak. Kebanyakan kajiannya adalah tentang sejarah Islam. Karya-karyanya antara lain adalah: Muhammad at Mecca, Muhammad atMedina, The Majesty That Was Islam, History of Islamic Spains, The Influence of Islam in Medieval Europe. Dalam karya yang disebut terakhir, ia dengan meyakinkan menegaskan jasa besar Islam di bidang ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Eropa.
4.      Gustave von Grunebaum[9]
tokoh ini tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap Islam. Di antara buku-bukunya  yang  mencaci-maki  Islam adalah Modern Islam : The Search for Cultural Identity. Dalam buku ini antara lain ia menyatakan bahwa peradaban Islam tidak memiliki aspirasi-aspirasi primer seperti peradaban lainnya. Ciri peradaban Islam adalah antikemanusiaan. Selain itu, Islam tidak punya etik formatif dan kekurangan kesegaran intelektual. Kaun Muslim tidak bisa maju, tidak ilmiah, tidak bisa obyektif, tidak kreatif, dan otoriter. Islam di tangan von Grunebaum adalah Islam yang direduksi dan ditempeli sifat-sifat negatif yang bisa dikhayalkan oleh Grunebaum. Kebenciannya juga dituangkan dalam bukunya Medieval Islam


Penutup
Kesimpulan
Dogma-dogma orientalisme dan sedikit contoh di atas kiranya cukup menyadarkan kita supaya berhati-hati dalam menghadapi orientalisme. Mereka yang paling “Simpatik” pun masih menyelip-nyelipkan pendapat-pendapat yang menyesatkan. Terutama menimbulkan semacam skeptisisme dalam diri kita, yaitu keragu-raguan terhadap kesucian Islam sebagai wahyu terahir.
Memang ada fakta yang menyedihkan di dunia Islam. Karena keteledoran para cendekiawan Muslim sendiri, banyak buku orientalis yang dijadikan semacam sumber untuk mempelajari Islam. Buku Von Grunebaum, umpanya, pernah menjadi buku standar di Universitas Teheran. Di Indonesia sendiri, Cambridge Historty of Islam banyak digunakan sebagai referensi baku di beberapa universitas untuk kuliah sejarah Islam.
Kita jangan sampai lupa bahwa sekeras-keras Orientalis berusaha untuk memahami Islam, ia tidak akan pernah sampai pada sesuatu pengertian seperti kita memahami Islam. Orientalis menangkap Islam hanya dengan Panca Indra dan pikiran mereka, sedangkan kita menangkap Islam dengan dengan seluruh pikiran, hati, dan matahati kita.
Setelah mengerti dogma-dogma  dan hakikat orientalisme, tak selayaknya lagi kita terpukau oleh tulisan mereka, apalagi sampai tertipu oleh mereka. Ini tidak berarti kita haram untuk membacanya.
Referensi
Ø Masruri, Siswanto. Orientalisme. Yogyakarta. 2009.


[1] Siswanto Masruri, Orientalisme, Yogyakarta, 2009, hlm 211
[2] Ibid, hlm 213
[3] Ibid, hlm 214
[6] Siswanto Masruri, Op Cit, hlm 216
[7] Siswanto Masruri, Op Cit, hlm 217
[8] Ibid, hlm 217
[9] Ibid, hlm 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar