Contoh Bentuk Konversi Agama
Pendahuluan
Malcolm X, seorang tokoh kulit hitam pertama yang secara terang-terangan menentang rasialisme di Amerika. Ia dengan gigih berusaha menghapus “Rasialisme Sistematik” sebuah kultur politik yang gagal menyantuni hidup masyarakat afro-Amerika.
Perjalanan hidup yang dialami Malcolm X, merupakan fenomena tersendiri. Ia dibesarkan dengan latar belakang kehidupan yang sarat dengan pelecehan HAM, terutama yang menyangkut perbedaan warna kulit, dan berhasil mengatasi “terbelahnya kepribadian”, terutama setelah ia menunaikan Haji ke Mekkah.
Bersama seorang jurnalis bernama Alex Haley, Malcolm berkolaborasi membuat otobiografi tentang dirinya di tahun 1965 yang diberi nama "Malcolm X". Coauthored (kolaborasi fiksi) yang dibuat Haley berdasarkan serangkaian wawancara mendalam yang dilakukannya antara tahun 1963 hingga 1965. Otobiografi tersebut berisi narasi konversi spiritual yang menguraikan filsafat Malcolm X yaitu black pride, black nationalism, dan pan-Africanism.[1]
Pembahasan
Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika.
Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha[2], Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika. Muncul dari gerakan sipil negro di akhir abad 19 yang gerah dengan perdagangan budak Afrika, menyatukan visi mereka bersama dan menjadi organisasi yang besar hingga sekarang. Sementara Louisa Norton, ibunya, adalah negro yang lahir dari korban perkosaan orang kulit putih, seorang ibu rumah tangga biasa.
Latar belakang pengasingan dan pengucilan negro yang kerap dihadapi Malcom, membuatnya begitu membenci orang kulit putih. Saat itu pembantaian terhadap negro kerap dilakukan oleh Ku Klux Klan, sebuah gerakan radikal atas supremasi kulit putih yang didirikan tahun 1865 di Tennessee. Mereka memakai topeng dengan jubah panjang berwarna putih dan menghabisi banyak keluarga negro.[3]
Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun.
Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York.[4] Disana ia terlibat dalam lingkungan pertemanan kriminal, terlibat dalam bisnis narkoba juga perjudian. Tak cuma itu, pemerasan, perampokan dan bisnis prostitusi juga ia alami. Tahun 1945 ia kembali ke Boston dan masih melakukan hal yang sama, tindakan kriminal. Ini didasarinya atas kebencian pada orang kulit putih.
Pada usia 20 tahun, 12 Januari 1946, Malcolm merampok rumah kaya orang kulit putih, disidang di pengadilan, kemudian masuk penjara Charlestown, Boston bulan Februari 1946, selama 7 tahun.
Di penjara, ia berkenalan dengan John Elton Bembry yang kemudian lewat diskusi-diskusi mereka, Malcolm mengenal Nation of Islam, organisasi keagamaan yang didirikan oleh Wallace Fard Muhammad di Detroit, Michigan, Juli 1930. Dan dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.
Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).
Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak.[5]
Tahun 1948, salah seorang tokoh Nation of Islam, Elijah Muhammad, menasehati Malcolm lewat surat untuk kembali ke jalan yang benar dan tak lagi berbuat kriminal dengan cara menundukkan hati di hadapan Tuhan. Sejak saat itu Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.
Tanggal 7 Agustus 1952, dibebaskan dari penjara, mendatangi Elijah di Chicago Illinois. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem.
5 tahun lebih setelah keluar dari penjara, tanggal 14 Januari 1958, Malcolm menikahi Betty Sanders di Lansing, Michigan dan memiliki 6 orang anak yang semuanya adalah perempuan.
Malcolm aktif dalam kegiatannya di Nation of Islam, hal ini menimbulkan kecurigaan FBI yang secara khusus menyelidiki Malcolm apakah ia memiliki peran dalam Partai Komunis di Nation of Islam. Belum lagi pidato-pidato Malcolm tentang Nation of Islam yang selalu dibumbuinya dengan rasialisme, juga kebenciannya akan orang kulit putih, makin membuat FBI perlu menyelidiki secara mendalam Malcolm X.
Pidato-pidato Malcolm begitu membius dan menyihir orang-orang kulit hitam yang mendengarnya. Ia sangat kritis tentang gerakan hak-hal sipil dan menganjurkan pemisahan Amerika atas orang kulit hitam dan kulit putih dengan mendirikan negara terpisah. Ia juga secara tegas mengkritik Martin Luther King, Jr sebagai si bebal yang menjadi bonekanya orang kulit putih.
Pidato-pidato Malcolm begitu membius dan menyihir orang-orang kulit hitam yang mendengarnya. Ia sangat kritis tentang gerakan hak-hal sipil dan menganjurkan pemisahan Amerika atas orang kulit hitam dan kulit putih dengan mendirikan negara terpisah. Ia juga secara tegas mengkritik Martin Luther King, Jr sebagai si bebal yang menjadi bonekanya orang kulit putih.
Malcolm menjadi orang nomer 2 di Nation of Islam setelah Elijah Muhammad, ia juga yang membuat organisasi ini menjadi besar dalam kurun waktu 1 dasawarsa. Di tahun 1952, Nation of Islam hanya beranggotakan 500 orang, tapi di tahun 1963 anggotanya berkembang pesat menjadi 25.000 orang.
Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.
Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah.
Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin.
kepopulerannya di Nation of Islam justru membuatnya sering bersitegang dengan Elijah, salah satu tuduhannya adalah Elijah melakukan zinah dengan sekretarisnya.[6]
Sampai akhirnya tanggal 8 Maret 1964, Malcolm mengumumkan pada dunia bahwa ia meninggalkan organisasi itu dan memilih menjadi Islam yang sebenarnya tanpa terikat organisasi. Ia keluar dari Nation of Islambersama Muhammad Ali, mereka memilih Islam Sunni sebagai kepercayaannya.
Setelah lepas dari Nation of Islam, Malcolm justru banyak belajar tentang Islam dari keberagaman yang ada. Tanggal 13 April 1964, Malcolm berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk belajar Islam sekaligus berhaji. Datang dalam kondisi tak berkemampuan berbahasa Arab.
Di sini puncak kesadaran tertinggi dari Malcolm bahwa Islam itu terlalu luas, terlalu beraneka ragam tak seperti yang ia temui di Nation of Islam yang melulu orang kulit hitam. Berbagai ras ia temui saat naik haji, membuatnya berpikir tentang keanekaragaman dalam Islam. Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”[7]
Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.
Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).[8]
Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, ketika Malcolm berbicara diManhattan's Audubon Ballroom saat pertemuan Organisasi Persatuan Afro-Amerika, di antara 400-an orang yang ada di sana, timbul kerusuhan, dari situ ada yang mendekatinya dan menembaki Malcolm 16 kali dengan senapan sawed-off shotgun berlaras pendek dengan peluru kaliber .45". Malcolm meninggal tak lama kemudian di Rumah Sakit Columbia Presbyterian, jam 15.30 sore.
PROSES KONVERSI
Periode Kegelisahan
Faktor Konflik
Pada usia 20 tahun, 12 Januari 1946, Malcolm merampok rumah kaya orang kulit putih, disidang di pengadilan, kemudian masuk penjara Charlestown, Boston bulan Februari 1946, selama 7 tahun.
Faktor Sugesti
Di penjara, ia berkenalan dengan John Elton Bembry yang kemudian lewat diskusi-diskusi mereka, Malcolm mengenal Nation of Islam, organisasi keagamaan yang didirikan oleh Wallace Fard Muhammad di Detroit, Michigan,
Periode Krisis Konversi
Faktor Sugesti
Melalui kontak dengan saudara Malcolm, Philbert. Melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).
Tahun 1948, salah seorang tokoh Nation of Islam, Elijah Muhammad, menasehati Malcolm lewat surat untuk kembali ke jalan yang benar dan tak lagi berbuat kriminal dengan cara menundukkan hati di hadapan Tuhan. Sejak saat itu Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI.
Faktor Kemauan
Berawal dari penjaralah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Tanggal 7 Agustus 1952, dibebaskan dari penjara, mendatangi Elijah di Chicago Illinois. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri.
Periode Damai, Tenang, dan Harmonis
Tanggal 13 April 1964, Malcolm berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk belajar Islam sekaligus berhaji. Datang dalam kondisi tak berkemampuan berbahasa Arab.
Di sini puncak kesadaran tertinggi dari Malcolm bahwa Islam itu terlalu luas, terlalu beraneka ragam tak seperti yang ia temui di Nation of Islam yang melulu orang kulit hitam. Berbagai ras ia temui saat naik haji, membuatnya berpikir tentang keanekaragaman dalam Islam. Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”
Periode Ekspresi Konversi
Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]).
Kesimpulan
Untuk menjelaskan Malcolm X, kita tidak bisa lepas dari siapadan bagaimana dia dulu. Sebelumnya, ia adalah seorang pelaku kriminal, pecandu obat-obatan terlarang, seorang mucikari, narapidana, seorang penganut Rasisme, seorang yang benci dan percaya seratus persen bahwa kulit putih itu identik dengan “dosa”. Tetapi, semua telah berlalu. Dua hari sebelum ia meninggal, dalam komentarnya yang ditujukan kepada Gordon Parks tentang masa lalunya, ia mengatakan “itulah masa laluku ! masa lalu yang penuh penderitaan dan kegilaan! Aku gembira dapat terlepas dari padanya.”
Dan Malcolm X telah bebas, tidak ada yang mengetahuinya bahwa sebelum dan sesudah mengadakan perjalanan haji ke Makkah, ia telah membuang seluruh paham rasisme, separatisme, dan kebenciannya terhadap kulit Putih.
Tetapi ia tidak membuang seluruh pernyataan-pernyataan yang mengejutkan tentang adanya agitasi di negara ini, tidak hanya kepada kulit hitam, namun kepada seluruh orang.[9]
Referensi
Haley, Alex. Malcolm X Sebuah Otobiografi. Risalah Gusti. Surabaya. Oktober 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar